Seorang pelanggan di sebuah restoran di Bukit Tunku di sini terkejut apabila dia mendakwa dikenakan bayaran sebanyak RM17.50 untuk segelas teh o ais dan sepinggan nasi berlaukkan ayam goreng, kerabu pucuk paku dan tempe masak sambal.
Menurut pelanggan itu yang cuma ingin dikenali sebagai Ashraf, dia singgah ke restoran tersebut untuk makan tengah hari semalam.
“Saya pertama kali pergi ke kedai makanan itu dan pada saya ia hanya kedai biasa sahaja cuma bahagian dalam mempunyai ruang khusus untuk pendingin hawa.
“Selepas ambil makanan, saya makan di bahagian luar restoran ini. Kemudian semasa saya ingin membayar makanan, saya diberitahu kena bayar RM4 untuk segelas teh o ais dan RM13.50 untuk makanan,” katanya ketika ditemui Kosmo! semalam.
Ashraf yang merupakan seorang eksekutif di sebuah syarikat pengurusan bangunan memberitahu, restoran itu tidak kelihatan seperti sebuah restoran bertaraf lima bintang atau terdapat di hotel.
“Walaupun saya pernah makan di tempat-tempat yang eksklusif dan membayar pada harga yang tinggi untuk perkhidmatan yang disediakan tetapi saya tidak rasa restoran ini bertaraf eksklusif dan pada pandangan saya biasa sahaja dan tiada yang istimewa,” ujarnya.
Harga segelas teh o ais di kebanyakan restoran ialah RM1 hingga RM1.70 manakala sepinggan nasi ayam goreng, kerabu pucuk paku dan tempe masak sambal pula RM5 hingga RM8.
Monday, October 10, 2011
Ambon Berdarah !
Tragedi Ambon telah lewat sebulan. Namun, asapnya masih belum pupus benar. Meski berangsur pulih, denyut kehidupan di Ambon masih belum normal.
Apalagi, darah masih terus tumpah di beberapa tempat di sekitar Kepulauan Maluku. Lagi-lagi, seperti pada tragedi Iedul Fitri kelabu, korbannya kebanyakan
juga kaum muslimin. Seperti diketahui, dalam prahara Ambon, kaum muslimin menjadi kebiadaban kaum kafirin. Mereka dibantai dan disiksa dengan cara amat
keji. Sejumlah kaum muslimah diperkosa. Sementara puluhan ribu orang menjadi pengungsi lantaran rumah dan toko mereka dibakar. Belum lagi belasan masjid
yang dihancurkan atau dibakar.
Namun tak banyak yang tahu, di tengah segala kengerian itu terjadi peristiwa-peristiwa yang menakjubkan. Allah SWT menurunkan bala tentara-Nya
ketika umat Islam nyaris jadi korban. Firman Allah SWT yang turun saat perang Badar berkecamuk belasan abad silam terbukti di bumi jihad Ambon: “Ingatlah,
ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankanNya bagimu. Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan sepuluh ribu
malaikat yang datang berturut-turut (QS Al-Anfaal: 9)”.
Kejadian-kejadian menakjubkan itu diceritakan oleh KH Abdul Aziz Arbi, MA, Imam Besar Masjid Jami’ Al-Fatah, Ambon, kepada wartawan SABILI, M.
Lili Nur Aulia dan Rizki Ridyasmara yang menemuinya, Ahad pagi (20/2) di Jakarta. Dalam wawancara selama satu setengah jam, Ustadz Abdul Aziz menuturkan
kesaksiannya tentang turunnya bantuan Allah berupa sepasukan mujahidin cilik berjubah dan bersongkok putih. “Saya terpaksa mengungsikan istri dan kelima
anak saya karena situasi Ambon yang masih sangat rawan. Tapi saya akan segera kembali ke sana”, tutur alumnus Universitas Ummul Qura, Makkah, ini. Berikut
uraiannya:
Ribuan Jundullah Cilik
Tentara Allah turun di Ambon
Pada malam pertama kerusuhan Ambon, 19 Januari 1999, yang bertepatan dengan 1 Syawal 1419 H, saya berada di rumah bersama keluarga di dalam kompleks
Masjid Raya Al-Fatah. Suasana malam itu terasa amat mencekam. Tiap setengah jam sekali terdengar tiang listrik dipukul bertalu-talu -tanda adanya serangan
dari pihak Nasrani. Ibu-ibu dan anak-anak semuanya dicekam ketakutan yang luar biasa. Para penyerang itu menggunakan berbagai macam senjata. Mereka berteriak-teriak
bengis. Itu terjadi sepanjang malam. Tak pernah berhenti. Kita hanya bisa menahan serangan mereka.
Pada malam kedua, saya dijemput dua puluh tentara Kostrad. Saya diberi tahu bahwa saya adalah orang pertama yang akan dibunuh. Saat itu terjadi
penyerangan yang cukup hebat terhadap Masjid Raya Al-Fatah. Sejak malam hingga dini hari, orang-orang Nasrani itu menyerang kita secara bergelombang. Mereka
bersenjatakan panah-panah api dan racun, parang, tombak, batu, kayu, besi, senapan berburu, bom molotov, hingga bom ikan. Pasukan Muslim hanya berbekal
senjata seadanya: parang, kayu, batu, dan senjata apa saja yang bisa diraih. Ada kalanya kita mendesak mereka, namun sewaktu-waktu mereka ganti mendesak
kita.
Sekitar pukul 24.00 hingga pukul 01.00 malam waktu setempat, umat Islam terdesak mundur. Musuh-musuh Islam, Nasrani-nasrani itu, maju hingga mencapai
pagar Masjid Raya. Mereka benar-benar ingin menghancur-leburkan Masjid Raya kebanggaan kota Ambon itu. Di dalam masjid berkumpul lima ribuan pengungsi
yang kebanyakan terdiri dari ibu-ibu dan anak kecil. Para penyerang itu tampak sudah sedemikian dekat dengan pagar masjid. Beberapa dari mereka bahkan
telah melompati pagar. Umat Islam panik bercampur marah. Para pengungsi histeris ketakutan. Gambaran kehancuran masjid dan pembantaian pengungsi sudah
terbayang di depan pelupuk mata. Keadaan sudah sedemikian gawat. Nyaris tanpa harapan.
Entah mengapa, tiba-tiba para penyerang itu berbalik dan lari terbirit-birit. Kelihatannya mereka sangat ketakutan. Kita sama sekali tidak menyangka.
Sungguh kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata mereka menyaksikan apa yang tidak bisa kita lihat. Ini kita ketahui melalui cerita seorang
Nasrani yang berhasil ditawan: “Saya melihat ribuan kanak-kanak berusia sekitar sepuluh tahun, memakai baju dan songkok putih berlari kencang keluar dari
dalam masjid ke arah kita. Seorang tua berjubah dan bersorban putih dengan tongkat di tangannya tampak memimpin pasukan itu. Jumlahnya sangat besar dan
keberaniannya sangat luar biasa. Itulah yang membuat kami takut dan berbalik lari meninggalkan masjid”. Subhanallah, Allahu Akbar ! Itu terjadi pada malam
Kamis.
Tiupan Malaikat
Pada malam Jum’at, Masjid Al-Fatah kembali diserang. Kali ini mereka menyerang dari Jalan Baru – jalan ini terletak di depan masjid. Dengan memanfaatkan
tiupan angin yang mengarah ke Masjid Al-Fatah, penyerangan dilakukan dengan membakar beberapa rumah di ujung selatan Jalan Baru. Mereka menggunakan anak
panah yang menyala. Namun, ketika mereka menghujani rumah-rumah Muslim dengan ratusan anak panah berapi, panah-panah itu malah jatuh ke rumah-rumah Nasrani
tetangganya. Tapi karena saat itu angin bertiup sangat kuat, rumah-rumah Muslim yang letaknya bersebelahan ikut terbakar.
Api merembet dengan cepat ke arah masjid. Tiupan angin kian mempercepat rembetan itu. Penduduk berhamburan keluar menyelamatkan diri ke Masjid
Al-Fatah. Penduduk Muslim yang laki-laki bertempur di bawah kobaran api yang membubung tinggi, menahan gelombang serbuan kaum kafirin yang berusaha menerobos
ke Masjid. Di Masjid, para pengungsi kembali panik. Kaum ibu berteriak histeris. Anak-anak menangis ketakutan. Hawa malam itu terasa sedemikian panas.
Bercampur rasa kalut dan pasrah.
Melihat keadaan demikian, saya perintahkan semua wanita yang ada di dalam masjid mengenakan pakaian sholatnya. Saya komandokan mereka bertakbir
mengagungkan nama Allah SWT. Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Gemuruh takbir kian lama kian kompak bergemuruh. Takbir yang diteriakkan oleh
jiwa yang pasrah dan sungguh-sungguh mengharap pertolongan Allah membahana hingga ke luar masjid. Warga di Gang Diponegoro dan Batu Merah yang terletak
di dekat Al-Fatah menangis saat mendengar takbir yang begitu memilukan. Kita bertakbir dari pukul 23.00 hingga 01.00 malam.
“Di malam yang penuh ketakutan itu, orang-orang yang berada di sekitar Masjid tiba-tiba dikejutkan oleh sebersit cahaya terang berwarna biru yang
jatuh dari langit. Bola cahaya itu membelah kepekatan malam, meluncur tepat di atas Masjid Raya Al-Fatah. Entah apa sebabnya, tiba-tiba angin berbalik
arah dan berhembus amat sangat kencang. Yang tadinya bertiup ke arah Masjid, kini berbalik seratus delapan puluh derajat menuju Gereja Silo. Seandainya
angin masih tetap meniup ke arah Masjid, bukan tidak mungkin seluruh rumah Muslim akan habis. Tapi dengan ijin Allah SWT angin itu berbalik, dan akhirnya
membakar Gereja Silo yang berjarak kurang lebih tiga ratus meter dari Al-Fatah”.
Curangnya Pemda Ambon, khususnya petugas pemadam kebakaran, mereka telah memarkir dua unit mobil pemadam kebakaran di samping Gereja Silo, namun
tidak di Masjid Al-Fatah. Mereka memadamkan api yang menjilat Gereja Silo.
Kita di Masjid tetap mengumandangkan takbir. Itu membuat orang-orang kafir makin kalap. Mereka kian bengis menyerang kita. Seorang pengungsi berkata
kepada saya, “Ustadz, hentikan takbir. Mereka makin kalap menyerang”. Takbir sejenak kita hentikan. Namun setelah berhenti, mereka tetap menyerang kita.
Takbir akhirnya kita lanjutkan. Kita kembali menyusun pertahanan. Dengan takbir tersebut, kita memompa semangat jihad kawan-kawan. Mereka akhirnya bisa
kita pukul mundur.
“Entah mengapa, seiring dengan terpukulnya pasukan kafir itu, angin kembali bertiup kencang menuju Gereja Silo. Api kembali membakar gereja itu”.
Mobil-mobil pemadam kebakaran-pun berusaha keras memadamkan api kembali. Itu terjadi pada malam Jum’at, 22 Januari 1999. Kita tidak bakar gereja, mereka
sendirilah yang membawa-bawa api.
Ribuan Mujahidin Berjubah Putih
Pada hari Jum’at, 23 Januari 1999, masyarakat Desa Hitu – kurang lebih berjarak 25 km dari Ambon – ingin pergi ke Ambon bergabung dengan Muslim
lainnya membela Agama Allah yang telah diinjak-injak kaum kafirin. Mereka baru mengerti, pengiriman orang-orang Nasrani dari kampung-kampung ke Ambon sebelum
‘Iedul Fitri ternyata mengandung rencana busuk. Pada Hari Raya, jumlah Muslimin di Ambon berkurang drastis karena banyak yang mudik. Sedang orang-orang
kafir bertambah banyak. Itu sebabnya mereka berani menyerang umat Islam.
Kabar yang beredar di masyarakat Desa Hitu dan sekitarnya menyebutkan bahwa dalam penyerangan Kamis malam, Masjid Raya Al-Fatah telah membakar
dan saya – Imam Masjid tersebut – telah terbunuh oleh orang-orang Kristen. Kaum Muslimin Desa Hitu itu berkata, “Kalau Masjid Raya telah terbakar dan Ustadz
telah terbunuh, untuk apa lagi kita hidup ! Mari bersama-sama kita jihad fi sabilillah !”
Di Ambon, jika orang ingin jihad fi sabilillah, mereka melakukan upacara ritual dulu: mereka mandi membersihkan segala najis yang mungkin masih
melekat di sekujur tubuh, disusul dengan berwudhu, lalu mengenakan baju perang berupa jubah putih – dari Desa Hitu, Mamala, Maurela, dan Wakal – yang berjumlah
sekitar empat puluh orang mulai bergerak. Mereka tidak banyak. Orang yang sungguh-sungguh siap untuk jihad fi sabilillah bukanlah orang sembarangan. Mereka
harus mengerti betul apa hakikat jihad fi sabilillah tersebut.
Setibanya di Poso, mereka dihadang barikade pasukan Brimob. Pasukan Brimob itu memberi tahu bahwa Masjid Raya Al-Fatah tidak terbakar. Namun pemberitahuan
itu tidak membuat pasukan jubah putih itu surut langkah. Mereka telah siap berjihad. Karena tidak mau kembali ke Hitu, akhirnya pasukan Brimob tersebut
melepaskan beberapa tembakan ke arah mereka. “Namun aneh, tak sebutir peluru pun sanggup menembus jubah putih mereka. Peluru terakhir yang ditembakkan
malah mental dan berbalik menuju aparat yang menembaknya. Ini diakui oleh si penembaknya sendiri”.
Anggota Brimob itu menuturkan, “Setelah menembak mereka, peluru itu langsung mental, berbalik ke saya. Untung saya cepat menghindar. Setelah itu
seluruh badan ini bergetar hebat. Gemetar. Senjata yang saya pegang jatuh. Akhirnya saya bilang sama komandan dan bahwa mereka ini bukan orang-orang biasa”.
Dalam penglihatan pasukan Brimob itu, empat puluh orang pasukan jubah putih tampak berjumlah ribuan orang. Empat orang tua berjubah dan bersorban putih
yang duduk di atas empat kuda putih tampak memimpin pasukan besar tersebut. Padahal orang-orang muslim itu tidak melihat siapa-siapa selain keempat puluh
warga Desa Hitu dan sekitarnya itu, dan tidak satu pun yang mengendarai kuda.
Setibanya di pinggiran Ambon, mereka dihadang tentara lagi. Mereka dinasehati agar kembali saja ke Hitu, sebab Masjid Al-Fatah tidak terbakar
dan Ustadz Abdul Aziz masih hidup. Setelah mengecek kebenaran berita itu, akhirnya mereka pulang dengan damai. Dalam perjalanan pulang ke Hitu, mereka
dihadang orang-orang Kristen. Terjadilah pertempuran hebat. Dalam waktu singkat seluruh orang-orang kafir itu berhasil ditumpas. Pertempuran itu menyebabnya
seluruh perkampungan kafirin dan sejumlah gereja. Andai saja pasukan jubah putih itu tidak dihadang dan diserang, hal tersebut tidak akan pernah terjadi.
Siapa menabur angin akan menuai badai.
Jundullah Cilik
Ada pula kejadian di belakang Kota, ini nama suatu perkampungan Arab di Ambon, tempat penjualan kayu. Pada malam kelima, perkampungan itu juga
diserang musuh. Padahal banyak penghuni kampung tersebut telah mengungsi. Ketika diserang, kampung belakang Kota waktu itu hanya dihuni beberapa pemuda.
Walau demikian, serangan kaum kafirin itu tidak menggetarkan pemuda-pemuda Muslim. Mereka melawan dengan gagah berani sambil meneriakkan takbir. Disebabkan
kalah dalam segi jumlah personil maupun senjata, lama-kelamaan para pemuda itu terdesak. “Namun, lagi-lagi kejadian aneh terjadi. Para penyerang yang jumlahnya
sangat banyak itu tiba-tiba mundur dan lari tunggang-langgang”.
“Esok paginya orang-orang ramai membicarakan hal tersebut. Dari penuturan para penyerang, tersiar kabar bahwa mereka mundur disebabkan adanya
segerombolan kanak-kanak kecil berbaju dan bersongkok putih. Kanak-kanak itu dipimpin seorang tua berjubah serba putih dan memegang tongkat. Pasukan serba
putih itu menyerang mereka dengan gagah berani. Sama seperti yang mereka lihat di Masjid Raya Al-Fatah beberapa malam lalu”. Mereka berkata, “Kita heran
dengan orang-orang Islam. Kita sudah punya peralatan, rencana, dan senjata yang begitu kuat, kesiapan yang lengkap, ternyata itu semua tak sanggup untuk
menghancurkan mereka. Entah, kanak-kanak itu datangnya dari mana”.
Dalam kerusuhan Ambon, target bunuh pertama orang-orang Kristen itu adalah para ulama, lalu orang-orang Arab, pemuka-pemuka Islam, yang keempat
barulah BBM (Buton, Bugis, Makasar). Ternyata setelah ‘BBM’ ini banyak yang mengungsi ke kampungnya, ternyata orang-orang Kristen itu tetap memerangi orang-orang
Ambon yang Muslim. Ini terjadi di Pelauw. BBM ternyata bukan sekedar Buton, Bugis, Makasar, tapi lebih kepada “Bakar, Bunuh Muslim” ! Itu pengertian BBM
sekarang ini, sebab hal tersebut terus saja berjalan. Keadaan di sana masih mencekam, terutama di Paso, sekitar delapan kilometer dari Kota Ambon.
Tragedi Bosnia terulang di Ambon
Ujian yang dialami kaum Muslimin di Karang Tagepe tidak kalah beratnya. Rumah dan kampung mereka habis dibakar oleh orang-orang kafirin. Di sana,
menurut mereka, wanita-wanita Muslimah yang sedang hamil dibedah perutnya. Lalu dikeluarkan janinnya, dan dicincang-cincang. Anak-anak kecil yang lari
ketakutan dan berusaha menyelamatkan diri ditangkapi lalu dilempar ke dalam api yang menyala. Jerit tangis bocah-bocah mungil itu sangat menyayat hati.
Perlakuan iblis itu dilakukan orang-orang Nasrani di sana atas nama agamanya. Gadis-gadis Muslimah diperkosa beramai-ramai. Payudaranya ditoreh tanda salib
dengan parang, lalu dipotong. Setelah puas, barulah dibunuh. Banyak di antara para Muslimah yang sudah syahid sebelum dibunuh kaum kafirin. Rasa sakit
yang tak terperikan menghentikan detak jantungnya. Semoga Allah SWT berkenan menerima mereka di syurga seperti dijanjikanNya.
Kejadian yang berlangsung di Rumah Sakit Umum (RSU) di daerah Kudamati juga memilukan. Karena terjadi penyerangan di hari pertama, banyak orang
Islam terluka. Mereka dibawa ke RSU di Kudamati. Walau mereka tahu Kudamati merupakan basis Nasrani, namun mungkin disebabkan lebih dekat maka mereka ke
sana. Para penyerang itu diberitahu bahwa orang Islam banyak yang dirawat di RSU tersebut. Akhirnya orang-orang Nasrani itu menyerang RSU. KTP-KTP pasien
digeledah untuk mengetahui pasien tersebut Islam atau non-Islam. Jika si pasien Islam maka langsung dibantai. Ibu-ibu hamil yang ada di rumah sakit itu
pun banyak yang hilang. Mendengar kejadian tersebut, akhirnya banyak orang yang berobat ke Rumah Sakit Bersalin (RSB) yang ada di dalam kompleks Masjid
Raya Al-Fatah. RSB Al-Fatah beralih fungsi menjadi Rumah Sakit Umum.
Di hari pertama kerusuhan pula, bertepatan dengan ‘Iedul Fitri 1 Syawal 1419 H , nasib naas menimpa satu keluarga dengan dua orang anak yang tinggal
di Deswa Wayane. Berawal dari suasana gembira lebaran, mereka silaturahmi ke rumah salah seorang saudara mereka yang juga merangkap toko di Pasar Mardika.
Pasar itu kemudian dibakar. Dengan cepat suasana yang tadinya gembira berubah drastis menjadi suasana yang sangat mencekam. Terjadi keributan di Batu Merah,
Mardika, dan tempat lainnya. Akhirnya keluarga ini pun tidak bisa pulang ke rumahnya di Desa Wayame.
Esoknya, kerusuhan meluas. Tengah malam Pasar Mardika dibakar. Sang bapak menuntun ibu dan dua anaknya yang masih kecil-kecil menyelamatkan diri
dari kobaran api. Mereka berlindung di sebuah rumah yang tidak jauh dari Pasar Mardika. Pagi harinya mereka menyempatkan diri untuk sholat Dhuha dan berdo’a
agar diselamatkan Allah SWT dari ketakutan ini. Dua jam mereka memanjatkan sholat dan berdo’a, sampai pukul 9.00 pagi. Setelah itu satu keluarga ini keluar
menuju jalan raya. Sang bapak menggendong anak sulungnya di pundak, sedangkan ibunya menggendong si bungsu. Di jalan yang berada di pinggir laut, suasana
sangat kalut dan mencekam. Keluarga ini berlari kecil menuju arah desanya. Si bapak dengan tangan terangkat ke atas memegangi anaknya yang duduk di pundaknya.
Tiba-tiba, saat mereka sedang berlari, ari arah yang berlawanan segerombolan anak muda memanggil-manggil mereka dengan panggilan yang bersahabat. Di tangan
mereka tergenggam parang, tombak, dan persenjataan lainnya. Si bapak yang baik hati ini mendengar panggilan itu dan berbaik sangka, dikiranya anak-anak
muda itu akan menolongnya. Maka berlarilah keluarga ini mendekat ke mereka.
Dengan terengah-engah keluarga ini menghampiri anak-anak muda itu. Sebuah pertanyaan tiba-tiba terdengar dari mereka: “Islam atau Kristen !?”
Dengan refleks si bapak menjawab, “Islam”. Dalam sekejap mata sebuah parang yang panjang dan tajam disabetkan ke pinggang si bapak yang tangannya masih
terangkat memegangi anak sulungnya. Si bapak menjerit dan tersungkur. Anaknya pun jatuh tak jauh dari bapaknya. Berikutnya terjadilah drama seram yang
disaksikan oleh ibu dan kedua anaknya. Si bapak berlutut dan mengiba-iba, tangannya terangkat tinggi-tinggi, “Tolong jangan lukai saya. Saya tidak bersenjata
” Tapi jawaban yang diterima malah sebuah balok kayu yang tepat menghantam kepalanya. Sang bapak jatuh tersungkur. Secepat kilat sebilah parang membelah
kepalanya, diikuti puluhan parang dan tombak yang mencincang tubuhnya. Sungguh pedih penderitaan yang harus dialami keluarga tersebut. Dengan sigap, sang
ibu menggendong kedua anaknya dan berlari menjauhi tempat tersebut dan bersembunyi di sebuah gudang hotel. Ia terpaksa meninggalkan suami tercinta dan
anak kedua anaknya itu. Alhamdulillah, mereka selamat.
Peristiwa mengenaskan terjadi di sebuah SMEA pada hari ketujuh setelah kerusuhan. Siswa dan siswi yang Islam pada waktu itu disuruh bersembunyi
oleh guru-guru mereka yang Kristen, “Hai kamu sekalian bersembunyi saja di satu ruangan. Kalau orang-orang itu tahu akan habisi kalian ini”. Akhirnya para
siswa-siswi itu bersembunyi di satu ruangan kelas. Ternyata ada guru lain, Kristen, yang memberi tahu para penyerang bahwa di sekolah tersebut ada anak-anak
Islam yang tengah bersembunyi. Akhirnya orang-orang Kristen itu mendatangi SMEA tersebut dan membantai semua siswa-siswinya yang beragama Islam.
Dalam melakukan penyerangan, orang-orang Kristen itu bersenjata sangat lengkap. Dari jauh mereka menggunakan panah. Setelah agak dekat menggunakan
tombak. Lebih dekat lagi memakai parang. Sedang kita semua tidak punya itu. Kita tidak memiliki niat untuk melakukan hal yang jelek. Karena mereka menyerang
kita, maka kita membalas dengan bersenjatakan apa saja. Ada yang pergi ke dapur lalu menjumpai pisau, pisau itulah yang dipergunakan. Ada golok kita pakai,
ada bambu kita runcingkan.
Mereka memakai kain merah dan ungu yang diikatkan di kepalanya. Yang berwarna merah bertugas melakukan penyerangan. Sedang yang berikat kepala
ungu malakukan penghancuran. Terlihat jelas adanya koordinasi di antara mereka. Dalam kerusuhan Ambon, orang-orang Cina selamat. Saya melihat, pada saat
terjadinya penyerangan, orang-orang Cina itu mengeluarkan saputangan putih yang di pinggirnya berwarna merah. Itu membuat mereka tidak diserang. Semua
pertokoan Muslim terbakar, sementara toko mereka selamat. Di pasar Mardika, di satu tempat yang merupakan terminal, ada Batu Merah, Galunggung, dan sebagainya
itu, semua punya Cina dan tidak terbakar. Di tempat lain, toko-toko Muslim semuanya terbakar. Sebelum penyerangan mereka melihat peta, yang mana pertokoan
Muslim dan yang mana punya Cina. Mereka tahu tempatnya.
Banyak warga Ambon yang mengungsi. Tanggal 8 Februari 1999, saya dan kelarga meninggalkan Ambon. Arus pengungsi sangat banyak. Di pelabuhan ada
sekitar 16.000 pengungsi yang harus dibawa menuju Buton dan Ujung Pandang. Kapasitas Kapal Siguntang itu hanya 7.000 orang. Karena orang yang harus diangkut
terlalu banyak, kapal itu akhirnya mengangkut 9.000 pengungsi. Lebih dari itu kapal akan tenggelam. Itu dari Ambon saja. Sebelumnya dari Banda, dari Tual,
banyak kapal-kapal sudah membawa ribuan pengungsi. Saya dan keluarga berjalan dari bawah ke atas kapal itu memakan waktu tiga jam ! Padahal jika normal
paling satu menit sudah sampai. Itu disebabkan membludaknya jumlah pengungsi. Barang-barang tidak bisa lagi kita jinjing, itu semua harus dikerek ke atas
kapal.
Kaum Muslimin Buton, Bugis, dan Makasar yang pulang ke daerahnya sesungguhnya hanya untuk mengantar anak dan istrinya saja ke tempat tinggal yang
aman. Setelah itu mereka akan kembali semua ke Ambon bersama sanak famili yang laki-laki. Mereka akan mempertahankan Ambon Ambon sampai tetas darah terakhir.
Mereka sudah bertekad untuk jihad fi sabilillah. Mereka bilang sama saya, “Ustadz, kita ini orang yang sudah banyak dosa. Kapan lagi kita akan menemukan
hal yang seperti ini. Agama kita dihina. Harga diri umat Islam sudah diinjak-injak. Nabi Muhammad sudah dicaci-maki. Kapan lagi saya mau membela jika bukan
sekarang !”
Kaum Muslimin yang belum ke luar Ambon kini tinggal di rumah-rumah orang Islam yang rumahnya tidak terbakar. Yang terbakar, mereka masih mendiami
Taman Hiburan Rakyat Waihao, Masjid Raya Al-Fatah, Wayami, dan sebagainya. Orang-orang Islam rata-rata mendapat luka di tangan. Ada pula yang di kaki.
Rata-rata kena panah. Agaknya panah-panah itu diberi racun, karena banyak yang tetanus setelah kena panah. Ada juga yang kena parang.
Hari Sabtu, hari kelima setelah kerusuhan, para pemuka Islam menghadap Kapolda dan minta izin, “Bila kita seperti ini terus, sampai kapan keadaan
ini akan tuntas. Tolong, izinkan kami untuk berhadapan langsung dengan mereka. Izinkan kami untuk bertempur dengan orang-orang Nasrani itu. Kami hanya
minta waktu empat jam. Jika mereka menang dalam pertempuran selama empat jam itu, kita umat Islam akan keluar dari Ambon. Tapi kalau mereka kalah, mereka
harus keluar dari Ambon, dan Ambon untuk orang Islam”. Itu sudah kami lakukan, tapi aparat tidak mengijinkan.
Kita terpaksa melakukan hal itu sebab aparat sangat tidak adil.Mereka memihak. Yang paling memihak adalah aparat kepolisian dan Brimob yang kebanyakan
Kristen. Aparat yang Islam ‘kan sedang cuti, mudik lebaran. Ketika orang Kristen yang menyerang dibiarkan, tapi giliran kita mau membalas, mereka melepaskan
tembakan. Malah ada orang kita yang ditembak mereka dan meninggal. Itu terjadi di hari kedua.
Mayat-mayat yang mereka bantai tidak bisa kita lihat, sebab banyak yang terjadi di daerah mereka. Di Kudamati, misalnya, pada hari kelima kerusuhan,
ada kejadian sedih yang menimpa orang Waihao. Ada pengusaha ikan, namanya Haji Lasanu. Orang Buton ini disuruh bosnya yang Taiwan untuk mengambil uang
di Mangga Dua, basis Kristen. Dia mengajak anak buahnya empat orang dan seorang anaknya, Musthofa yang baru berumur 17 tahun. Sebenarnya Musthofa ini sedang
tidur, tapi dibangunkan ayahnya. Sang isteri melarangnya mengajak anak itu. Tapi Haji Lasanu tetap bersikeras. Akhirnya berangkatlah mereka berenam ke
Mangga Dua.
Ketika berangkat dan sampai di sana tidak ada kejadian apa-apa. Begitu akan turun, anak dan empat anak buahnya di mobil terdepan, sedang ayah
satu mobil dengan bossnya di belakang. Di tengah perjalanan, sang bos ini lupa membawa handphone-nya, entah disengaja atau tidak, akhirnya satu mobil kembali
ke Mangga Dua. Mobil anaknya terus turun. Di tengah perjalanan, mereka dihadang orang-orang Nasrani, orang di mobil tersebut tidak dapat berbuat apa-apa,
sebab jumlah penghadang jauh lebih banyak. Kelima orang itu langsung dibunuh oleh kafirin. Setelah dibunuh, mayatnya dipotong-potong. Kepalanya dipisahkan
dari lehernya, pangkal tangannya juga dipisahkan dari badannya. Para penyerang itu kemudian menghancurkan mobil, menyiramkan bensin, dan membakarnya. Mayat
yang sudah hancur itu dilemparkan begitu saja ke api yang tengah menyala. Kejadian ini disaksikan banyak orang, berlangsung di tengah jalan raya.
Di rumah, sang ibu sudah cemas sebab sampai sore anaknya tidak juga pulang. Di malam hari terdengar kabar bahwa anaknya itu telah dibunuh dan
dibakar. Dua hari setelah kejadian itu, ada kabar mayatnya akan dibawa ke Waihao. Di Waihao sendiri telah disiapkan kain kafan, dan lima liang kubur telah
digali di sekitar rumah. Kita tidak mungkin menguburkannya di pekuburan Islam sebab terletak di Mangga Dua, daerah Kristen. Pekuburan tersebut sebenarnya
tanah wakaf. Namun sampai saat ini surat-suratnya belum diterbitkan, sebab pejabat-pejabat yang berwenang kebanyakan Kristen. Akhirnya tanah itu diduduki
orang Kristen. Merka buat gereja, buat rumah di atas tanah itu. Dari siang hingga tengah malam, kelima jenazah itu tidak juga didatangkan. Sebenarnya itu
tiak mungkin. Untuk menenangkan keluarga Waihao itu, pihak kepolisian mengatakan pada mereka bahwa kelima korban itu sudah dikuburkan secara Islam. Padahal
itu tidak benar.
Penyerangan orang-orang Nasrani kepada umat Islam di Ambon dan sekitarnya bukanlah tindakan kriminal murni. Mereka melihat itu sebagai bagian
dari perang sucinya. Semestinya umat Islam dari luar Ambon – tanpa diminta oleh kita – wajib datang, merasa terpanggil. Sebab bukankah kita bersaudara
? Rasulullah saw mengatakan bahwa kita ini ibarat satu tubuh. Satu bagian yang dicubit maka sakitlah seluruh badan. Kita sekarang amat sangat butuh bantuan
dari saudara-saudara seiman. Terutama untuk membangkitkan rasa percaya diri dan semangat jihad. Jika umat Islam sudah memiliki kepercayaan diri, kemudian
dibangkitkan “izzatun nafs”-nya, insya Allah, walau tidak ada bantuan dari luar Ambon, kita, umat Islam di Ambon bisa mengatasi mereka. Kalau saja aparat
memberi izin kita untuk bertempur dengan orang-orang kafir itu selama empat jam saja, secara adil, maka insya Allah, kita yakin bisa mengatasi mereka semua.
Namun kita tetap membutuhkan bantuan dari saudara-saudara seiman di luar Ambon.
Berita terakhir dari www.detik.com
Oknum Polisi Berondong Jamaah Sholat
9 Tewas, Habibie Sudah Tahu
Reporter: Sigit Widodo
detikcom – Jakarta, Presiden B. J. Habibie telah mengetahui adanya kasus penembakan jamaah sholat Subuh di Ambon Senin (1/3/1999). Perihal tersebut
diungkapkan menteri agama, Malik Fadjar di Istana Negara Jakarta Senin (1/3/1999) sore setelah diterima oleh Habibie. Malik mengakui bahwa dia sudah mengetahui
insiden tersebut
sejak pagi hari. “Saya mendapat informasi dari kakanwil Depag Maluku, Drs Hasyim Marabessy, SH, sekitar pukul 05:30 WIB melalui telepon,” ujar
Malik. Menurut Malik insiden tersebut jelas-jelas merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Sementara itu menteri peranan wanita yang juga ketua umum Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), Tutty Alawiyah merasa prihatin dan terkejut dengan
peristiwa ini. Tutty berharap pemerintah dan pihak berwajib segera dapat mengusut pelaku penembakan tersebut. “Jika tidak, hal ini dapat menimbulkan keresahan
di masyarakat,” kata Tutty.
Insiden penembakan itu terjadi pagi hari sekitar pukul 05:00 WIT. Saat itu sekitar 100 jamaah baru saja selesai menunaikan ibadah sholat Subuh
di masjid Al-Huda. Masjid ini terletak di daerah Auhura, sekitar 10 kilometer di sebelah Timur pusat kota Ambon.
Saat jamaah akan meninggalkan masjid, tiba-tiba saja beberapa oknum aparat kepolisian, tanpa jelas alasannya, memberondongkan tembakan ke arah
mereka. Tak pelak lagi, korban tewas pun berjatuhan. Gerombolan yang menembak itu, entah polisi-polisian, entah polisi asli.
Berapa jumlah korban yang tewas? Masih simpang siur. Namun sumber detikcom menyebutkan, setidaknya 9 orang tewas. Sedangkan yang luka-luka bisa
mencapai puluhan orang.
Oknum polisi itu rupanya tak hanya menyerang para jamaah yang baru saja menjalani sholat Subuh. Mereka, dengan membabibuta juga menyerang rumah-rumah
penduduk yang ada di sekitar masjid tersebut. Penyerangan yang dipimpin oleh beberapa perwira pertama ini tentu saja menerbitkan rasa takut warga. Rasa
takut itu mencekam hingga ke seluruh warga di Ambon.
Maklum saja, mereka, warga Ambon itu terus didesa oleh bentrokan antar warga secara terus menerus. Apalagi bentrokan itu berkaitan dengan soal
agama. Tak heran jika hingga pukul 20.30 WIT, suasana di seputar kota Ambon terlihat sepi dan mencekam.
Hingga berita ini diturunkan, detikcom belum berhasil mendapatkan konfirmasi dari pihak kepolisian. Baik Polda Maluku maupun Mabes Polri hingga
saat ini belum memberikan keterangan resmi. Namun sumber detikcom di Polda Maluku menyatakan, mereka-mereka yang melakukan penembakan itu sudah diciduk.
Untuk diketahui, kerusuhan yang berlarut-larut di pulau rempah-rempah ini telah menyebabkan eksodus besar-besaran. Pada hari Minggu (28/2/1999)
lebih dari 1.300 orang berjejalan pada kapal-kapal yang meninggalkan Ambon. Kerusuhan yang dimulai semenjak hari lebaran 19 Januari 1998 lalu hingga saat
ini sudah menewaskan 200 orang.
Pos Kota, Jumat, 5 Maret 1999
Peluru dikembalikan, petugas ketakutan
IMAM MESJID 2 KALI DITEMBAK TAK MEMPAN
20.000 Laskar Sabilillah siap ke Ambon
JAKARTA (Pos Kota) – Sebanyak 20.000 anggota Laskar Sabilillah dan anggota Furqon siap dikirim ke Ambon. Sebelum bertolak ke Ambon mereka akan
mengadakan apel akbar di halaman Masjid Istiqlal, Jakarta. Pada kesempatan itu mereka akan melakukan atraksi keterampilan ilmu beladiri dan ilmu kekebalan
tubuh sebagai bekal Jihad.
Sekjen Furqon Drs. H. Nadjamuddin Ramly yang didampingi Bendahara Drs. H. KA. Herry A. Aziz, di ruang kerjanya, di Istiqlal menjelaskan, apel tersebut
akan berlangsung 18 Maret. Pada acara tersebut akan dilakukan uji coba keterampilan mereka yang sudah terlatih.
Tujuan utama apel akbar menurut Nadjamuddin untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan umat Islam, dan merespon segala tantangan ke depan.
Selain itu mayoritas umat Islam secara proporsional bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa. Pemuda yang tergabung dalam Laskar Sabilillah terdiri
dari anggota kelompok Perguruan Pencak Silat Tapak Suci, Pagar Nusa, dan perguruan silat lainnya.
AM Zainal Abidin: Tinggal tunggu komando
AM Zainal Abidin selaku Komandan Laskar menyatakan dirinya siap untuk berangkat. “Kami tinggal tunggu komando saja, dan saya siap dikirim. Kami
tidak main-main,” tegasnya.
Sekretaris Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat Drs. H. Nazri Adlani menyatakan bahwa dirinya secara pribadi sakit mendengar pembantaian umat
Islam di Ambon. “Tapi kami sebagai anggota Pengurus MUI tidak bisa dong langsung bertindak begitu saja. Tugas kami adalah melobi pemerintah ditingkat tinggi,”
paparnya ketika menerima rombongan jama’ah Muslimin (Hizbullah) yang ikut mengutuk pembantaian warga muslim di Ambon.
Menurut Nazri warga muslim di Ambon juga tidak tinggal diam, mereka sudah bereaksi dengan cara mempertahankan diri, membentuk posko-posko (pos
komando) keamanan dan penyelamatan.
Nazri membenarkan peristiwa penembakan warga muslim yang sedang salat di mesjid, di Ambon. bahkan Nazri menambahkan bahwa Imam mesjid di sana bernama
Husein Umar sempat ditembak dua kali oleh oknum aparat keamanan tersebut, akan tetapi tidak tembus, bahkan dua pelurunya dipegang dan dikembalikan kepada
oknum tersebut. Pelaku langsung ketakutan dan kabur.
Pemerintah agar cabut pernyataan
Sementara Imam Masjid Al-Fatah, Ambon, H. Abdul Aziz Arbi, MA, meminta pemerintah untuk mencabut pernyataannya bahwa kerusuhan di Ambon dan sekitarnya
adalah perang melawan kemiskinan dan ulah segelintir kelompok radikal Islam dan Kristen yang kontroversi.
“Kami minta pernyataan pemerintah itu dicabut, pernyataan itu tidak benar,” kata Abdul Aziz, MA dalam jumpa persnya di Masjid Al-Azhar, Jakarta,
kemarin.
Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) juga ikut menyatakan agar pernyataan pemerintah yang tidak benar itu dicabut. Sumargono
dari KISDI mempersoalkan dipopulerkannya istilah ekstrim dan radikal Islam oleh Rezim Habibie yang dulu pernah dipopulerkan oleh Sudomo dan LB. Moerdani.
Karena mempopulerkan istilah itu bukan menyelesaikan masalah, akan tetapi akan menambah persoalan baru.
Apalagi, darah masih terus tumpah di beberapa tempat di sekitar Kepulauan Maluku. Lagi-lagi, seperti pada tragedi Iedul Fitri kelabu, korbannya kebanyakan
juga kaum muslimin. Seperti diketahui, dalam prahara Ambon, kaum muslimin menjadi kebiadaban kaum kafirin. Mereka dibantai dan disiksa dengan cara amat
keji. Sejumlah kaum muslimah diperkosa. Sementara puluhan ribu orang menjadi pengungsi lantaran rumah dan toko mereka dibakar. Belum lagi belasan masjid
yang dihancurkan atau dibakar.
Namun tak banyak yang tahu, di tengah segala kengerian itu terjadi peristiwa-peristiwa yang menakjubkan. Allah SWT menurunkan bala tentara-Nya
ketika umat Islam nyaris jadi korban. Firman Allah SWT yang turun saat perang Badar berkecamuk belasan abad silam terbukti di bumi jihad Ambon: “Ingatlah,
ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankanNya bagimu. Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan sepuluh ribu
malaikat yang datang berturut-turut (QS Al-Anfaal: 9)”.
Kejadian-kejadian menakjubkan itu diceritakan oleh KH Abdul Aziz Arbi, MA, Imam Besar Masjid Jami’ Al-Fatah, Ambon, kepada wartawan SABILI, M.
Lili Nur Aulia dan Rizki Ridyasmara yang menemuinya, Ahad pagi (20/2) di Jakarta. Dalam wawancara selama satu setengah jam, Ustadz Abdul Aziz menuturkan
kesaksiannya tentang turunnya bantuan Allah berupa sepasukan mujahidin cilik berjubah dan bersongkok putih. “Saya terpaksa mengungsikan istri dan kelima
anak saya karena situasi Ambon yang masih sangat rawan. Tapi saya akan segera kembali ke sana”, tutur alumnus Universitas Ummul Qura, Makkah, ini. Berikut
uraiannya:
Ribuan Jundullah Cilik
Tentara Allah turun di Ambon
Pada malam pertama kerusuhan Ambon, 19 Januari 1999, yang bertepatan dengan 1 Syawal 1419 H, saya berada di rumah bersama keluarga di dalam kompleks
Masjid Raya Al-Fatah. Suasana malam itu terasa amat mencekam. Tiap setengah jam sekali terdengar tiang listrik dipukul bertalu-talu -tanda adanya serangan
dari pihak Nasrani. Ibu-ibu dan anak-anak semuanya dicekam ketakutan yang luar biasa. Para penyerang itu menggunakan berbagai macam senjata. Mereka berteriak-teriak
bengis. Itu terjadi sepanjang malam. Tak pernah berhenti. Kita hanya bisa menahan serangan mereka.
Pada malam kedua, saya dijemput dua puluh tentara Kostrad. Saya diberi tahu bahwa saya adalah orang pertama yang akan dibunuh. Saat itu terjadi
penyerangan yang cukup hebat terhadap Masjid Raya Al-Fatah. Sejak malam hingga dini hari, orang-orang Nasrani itu menyerang kita secara bergelombang. Mereka
bersenjatakan panah-panah api dan racun, parang, tombak, batu, kayu, besi, senapan berburu, bom molotov, hingga bom ikan. Pasukan Muslim hanya berbekal
senjata seadanya: parang, kayu, batu, dan senjata apa saja yang bisa diraih. Ada kalanya kita mendesak mereka, namun sewaktu-waktu mereka ganti mendesak
kita.
Sekitar pukul 24.00 hingga pukul 01.00 malam waktu setempat, umat Islam terdesak mundur. Musuh-musuh Islam, Nasrani-nasrani itu, maju hingga mencapai
pagar Masjid Raya. Mereka benar-benar ingin menghancur-leburkan Masjid Raya kebanggaan kota Ambon itu. Di dalam masjid berkumpul lima ribuan pengungsi
yang kebanyakan terdiri dari ibu-ibu dan anak kecil. Para penyerang itu tampak sudah sedemikian dekat dengan pagar masjid. Beberapa dari mereka bahkan
telah melompati pagar. Umat Islam panik bercampur marah. Para pengungsi histeris ketakutan. Gambaran kehancuran masjid dan pembantaian pengungsi sudah
terbayang di depan pelupuk mata. Keadaan sudah sedemikian gawat. Nyaris tanpa harapan.
Entah mengapa, tiba-tiba para penyerang itu berbalik dan lari terbirit-birit. Kelihatannya mereka sangat ketakutan. Kita sama sekali tidak menyangka.
Sungguh kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata mereka menyaksikan apa yang tidak bisa kita lihat. Ini kita ketahui melalui cerita seorang
Nasrani yang berhasil ditawan: “Saya melihat ribuan kanak-kanak berusia sekitar sepuluh tahun, memakai baju dan songkok putih berlari kencang keluar dari
dalam masjid ke arah kita. Seorang tua berjubah dan bersorban putih dengan tongkat di tangannya tampak memimpin pasukan itu. Jumlahnya sangat besar dan
keberaniannya sangat luar biasa. Itulah yang membuat kami takut dan berbalik lari meninggalkan masjid”. Subhanallah, Allahu Akbar ! Itu terjadi pada malam
Kamis.
Tiupan Malaikat
Pada malam Jum’at, Masjid Al-Fatah kembali diserang. Kali ini mereka menyerang dari Jalan Baru – jalan ini terletak di depan masjid. Dengan memanfaatkan
tiupan angin yang mengarah ke Masjid Al-Fatah, penyerangan dilakukan dengan membakar beberapa rumah di ujung selatan Jalan Baru. Mereka menggunakan anak
panah yang menyala. Namun, ketika mereka menghujani rumah-rumah Muslim dengan ratusan anak panah berapi, panah-panah itu malah jatuh ke rumah-rumah Nasrani
tetangganya. Tapi karena saat itu angin bertiup sangat kuat, rumah-rumah Muslim yang letaknya bersebelahan ikut terbakar.
Api merembet dengan cepat ke arah masjid. Tiupan angin kian mempercepat rembetan itu. Penduduk berhamburan keluar menyelamatkan diri ke Masjid
Al-Fatah. Penduduk Muslim yang laki-laki bertempur di bawah kobaran api yang membubung tinggi, menahan gelombang serbuan kaum kafirin yang berusaha menerobos
ke Masjid. Di Masjid, para pengungsi kembali panik. Kaum ibu berteriak histeris. Anak-anak menangis ketakutan. Hawa malam itu terasa sedemikian panas.
Bercampur rasa kalut dan pasrah.
Melihat keadaan demikian, saya perintahkan semua wanita yang ada di dalam masjid mengenakan pakaian sholatnya. Saya komandokan mereka bertakbir
mengagungkan nama Allah SWT. Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Gemuruh takbir kian lama kian kompak bergemuruh. Takbir yang diteriakkan oleh
jiwa yang pasrah dan sungguh-sungguh mengharap pertolongan Allah membahana hingga ke luar masjid. Warga di Gang Diponegoro dan Batu Merah yang terletak
di dekat Al-Fatah menangis saat mendengar takbir yang begitu memilukan. Kita bertakbir dari pukul 23.00 hingga 01.00 malam.
“Di malam yang penuh ketakutan itu, orang-orang yang berada di sekitar Masjid tiba-tiba dikejutkan oleh sebersit cahaya terang berwarna biru yang
jatuh dari langit. Bola cahaya itu membelah kepekatan malam, meluncur tepat di atas Masjid Raya Al-Fatah. Entah apa sebabnya, tiba-tiba angin berbalik
arah dan berhembus amat sangat kencang. Yang tadinya bertiup ke arah Masjid, kini berbalik seratus delapan puluh derajat menuju Gereja Silo. Seandainya
angin masih tetap meniup ke arah Masjid, bukan tidak mungkin seluruh rumah Muslim akan habis. Tapi dengan ijin Allah SWT angin itu berbalik, dan akhirnya
membakar Gereja Silo yang berjarak kurang lebih tiga ratus meter dari Al-Fatah”.
Curangnya Pemda Ambon, khususnya petugas pemadam kebakaran, mereka telah memarkir dua unit mobil pemadam kebakaran di samping Gereja Silo, namun
tidak di Masjid Al-Fatah. Mereka memadamkan api yang menjilat Gereja Silo.
Kita di Masjid tetap mengumandangkan takbir. Itu membuat orang-orang kafir makin kalap. Mereka kian bengis menyerang kita. Seorang pengungsi berkata
kepada saya, “Ustadz, hentikan takbir. Mereka makin kalap menyerang”. Takbir sejenak kita hentikan. Namun setelah berhenti, mereka tetap menyerang kita.
Takbir akhirnya kita lanjutkan. Kita kembali menyusun pertahanan. Dengan takbir tersebut, kita memompa semangat jihad kawan-kawan. Mereka akhirnya bisa
kita pukul mundur.
“Entah mengapa, seiring dengan terpukulnya pasukan kafir itu, angin kembali bertiup kencang menuju Gereja Silo. Api kembali membakar gereja itu”.
Mobil-mobil pemadam kebakaran-pun berusaha keras memadamkan api kembali. Itu terjadi pada malam Jum’at, 22 Januari 1999. Kita tidak bakar gereja, mereka
sendirilah yang membawa-bawa api.
Ribuan Mujahidin Berjubah Putih
Pada hari Jum’at, 23 Januari 1999, masyarakat Desa Hitu – kurang lebih berjarak 25 km dari Ambon – ingin pergi ke Ambon bergabung dengan Muslim
lainnya membela Agama Allah yang telah diinjak-injak kaum kafirin. Mereka baru mengerti, pengiriman orang-orang Nasrani dari kampung-kampung ke Ambon sebelum
‘Iedul Fitri ternyata mengandung rencana busuk. Pada Hari Raya, jumlah Muslimin di Ambon berkurang drastis karena banyak yang mudik. Sedang orang-orang
kafir bertambah banyak. Itu sebabnya mereka berani menyerang umat Islam.
Kabar yang beredar di masyarakat Desa Hitu dan sekitarnya menyebutkan bahwa dalam penyerangan Kamis malam, Masjid Raya Al-Fatah telah membakar
dan saya – Imam Masjid tersebut – telah terbunuh oleh orang-orang Kristen. Kaum Muslimin Desa Hitu itu berkata, “Kalau Masjid Raya telah terbakar dan Ustadz
telah terbunuh, untuk apa lagi kita hidup ! Mari bersama-sama kita jihad fi sabilillah !”
Di Ambon, jika orang ingin jihad fi sabilillah, mereka melakukan upacara ritual dulu: mereka mandi membersihkan segala najis yang mungkin masih
melekat di sekujur tubuh, disusul dengan berwudhu, lalu mengenakan baju perang berupa jubah putih – dari Desa Hitu, Mamala, Maurela, dan Wakal – yang berjumlah
sekitar empat puluh orang mulai bergerak. Mereka tidak banyak. Orang yang sungguh-sungguh siap untuk jihad fi sabilillah bukanlah orang sembarangan. Mereka
harus mengerti betul apa hakikat jihad fi sabilillah tersebut.
Setibanya di Poso, mereka dihadang barikade pasukan Brimob. Pasukan Brimob itu memberi tahu bahwa Masjid Raya Al-Fatah tidak terbakar. Namun pemberitahuan
itu tidak membuat pasukan jubah putih itu surut langkah. Mereka telah siap berjihad. Karena tidak mau kembali ke Hitu, akhirnya pasukan Brimob tersebut
melepaskan beberapa tembakan ke arah mereka. “Namun aneh, tak sebutir peluru pun sanggup menembus jubah putih mereka. Peluru terakhir yang ditembakkan
malah mental dan berbalik menuju aparat yang menembaknya. Ini diakui oleh si penembaknya sendiri”.
Anggota Brimob itu menuturkan, “Setelah menembak mereka, peluru itu langsung mental, berbalik ke saya. Untung saya cepat menghindar. Setelah itu
seluruh badan ini bergetar hebat. Gemetar. Senjata yang saya pegang jatuh. Akhirnya saya bilang sama komandan dan bahwa mereka ini bukan orang-orang biasa”.
Dalam penglihatan pasukan Brimob itu, empat puluh orang pasukan jubah putih tampak berjumlah ribuan orang. Empat orang tua berjubah dan bersorban putih
yang duduk di atas empat kuda putih tampak memimpin pasukan besar tersebut. Padahal orang-orang muslim itu tidak melihat siapa-siapa selain keempat puluh
warga Desa Hitu dan sekitarnya itu, dan tidak satu pun yang mengendarai kuda.
Setibanya di pinggiran Ambon, mereka dihadang tentara lagi. Mereka dinasehati agar kembali saja ke Hitu, sebab Masjid Al-Fatah tidak terbakar
dan Ustadz Abdul Aziz masih hidup. Setelah mengecek kebenaran berita itu, akhirnya mereka pulang dengan damai. Dalam perjalanan pulang ke Hitu, mereka
dihadang orang-orang Kristen. Terjadilah pertempuran hebat. Dalam waktu singkat seluruh orang-orang kafir itu berhasil ditumpas. Pertempuran itu menyebabnya
seluruh perkampungan kafirin dan sejumlah gereja. Andai saja pasukan jubah putih itu tidak dihadang dan diserang, hal tersebut tidak akan pernah terjadi.
Siapa menabur angin akan menuai badai.
Jundullah Cilik
Ada pula kejadian di belakang Kota, ini nama suatu perkampungan Arab di Ambon, tempat penjualan kayu. Pada malam kelima, perkampungan itu juga
diserang musuh. Padahal banyak penghuni kampung tersebut telah mengungsi. Ketika diserang, kampung belakang Kota waktu itu hanya dihuni beberapa pemuda.
Walau demikian, serangan kaum kafirin itu tidak menggetarkan pemuda-pemuda Muslim. Mereka melawan dengan gagah berani sambil meneriakkan takbir. Disebabkan
kalah dalam segi jumlah personil maupun senjata, lama-kelamaan para pemuda itu terdesak. “Namun, lagi-lagi kejadian aneh terjadi. Para penyerang yang jumlahnya
sangat banyak itu tiba-tiba mundur dan lari tunggang-langgang”.
“Esok paginya orang-orang ramai membicarakan hal tersebut. Dari penuturan para penyerang, tersiar kabar bahwa mereka mundur disebabkan adanya
segerombolan kanak-kanak kecil berbaju dan bersongkok putih. Kanak-kanak itu dipimpin seorang tua berjubah serba putih dan memegang tongkat. Pasukan serba
putih itu menyerang mereka dengan gagah berani. Sama seperti yang mereka lihat di Masjid Raya Al-Fatah beberapa malam lalu”. Mereka berkata, “Kita heran
dengan orang-orang Islam. Kita sudah punya peralatan, rencana, dan senjata yang begitu kuat, kesiapan yang lengkap, ternyata itu semua tak sanggup untuk
menghancurkan mereka. Entah, kanak-kanak itu datangnya dari mana”.
Dalam kerusuhan Ambon, target bunuh pertama orang-orang Kristen itu adalah para ulama, lalu orang-orang Arab, pemuka-pemuka Islam, yang keempat
barulah BBM (Buton, Bugis, Makasar). Ternyata setelah ‘BBM’ ini banyak yang mengungsi ke kampungnya, ternyata orang-orang Kristen itu tetap memerangi orang-orang
Ambon yang Muslim. Ini terjadi di Pelauw. BBM ternyata bukan sekedar Buton, Bugis, Makasar, tapi lebih kepada “Bakar, Bunuh Muslim” ! Itu pengertian BBM
sekarang ini, sebab hal tersebut terus saja berjalan. Keadaan di sana masih mencekam, terutama di Paso, sekitar delapan kilometer dari Kota Ambon.
Tragedi Bosnia terulang di Ambon
Ujian yang dialami kaum Muslimin di Karang Tagepe tidak kalah beratnya. Rumah dan kampung mereka habis dibakar oleh orang-orang kafirin. Di sana,
menurut mereka, wanita-wanita Muslimah yang sedang hamil dibedah perutnya. Lalu dikeluarkan janinnya, dan dicincang-cincang. Anak-anak kecil yang lari
ketakutan dan berusaha menyelamatkan diri ditangkapi lalu dilempar ke dalam api yang menyala. Jerit tangis bocah-bocah mungil itu sangat menyayat hati.
Perlakuan iblis itu dilakukan orang-orang Nasrani di sana atas nama agamanya. Gadis-gadis Muslimah diperkosa beramai-ramai. Payudaranya ditoreh tanda salib
dengan parang, lalu dipotong. Setelah puas, barulah dibunuh. Banyak di antara para Muslimah yang sudah syahid sebelum dibunuh kaum kafirin. Rasa sakit
yang tak terperikan menghentikan detak jantungnya. Semoga Allah SWT berkenan menerima mereka di syurga seperti dijanjikanNya.
Kejadian yang berlangsung di Rumah Sakit Umum (RSU) di daerah Kudamati juga memilukan. Karena terjadi penyerangan di hari pertama, banyak orang
Islam terluka. Mereka dibawa ke RSU di Kudamati. Walau mereka tahu Kudamati merupakan basis Nasrani, namun mungkin disebabkan lebih dekat maka mereka ke
sana. Para penyerang itu diberitahu bahwa orang Islam banyak yang dirawat di RSU tersebut. Akhirnya orang-orang Nasrani itu menyerang RSU. KTP-KTP pasien
digeledah untuk mengetahui pasien tersebut Islam atau non-Islam. Jika si pasien Islam maka langsung dibantai. Ibu-ibu hamil yang ada di rumah sakit itu
pun banyak yang hilang. Mendengar kejadian tersebut, akhirnya banyak orang yang berobat ke Rumah Sakit Bersalin (RSB) yang ada di dalam kompleks Masjid
Raya Al-Fatah. RSB Al-Fatah beralih fungsi menjadi Rumah Sakit Umum.
Di hari pertama kerusuhan pula, bertepatan dengan ‘Iedul Fitri 1 Syawal 1419 H , nasib naas menimpa satu keluarga dengan dua orang anak yang tinggal
di Deswa Wayane. Berawal dari suasana gembira lebaran, mereka silaturahmi ke rumah salah seorang saudara mereka yang juga merangkap toko di Pasar Mardika.
Pasar itu kemudian dibakar. Dengan cepat suasana yang tadinya gembira berubah drastis menjadi suasana yang sangat mencekam. Terjadi keributan di Batu Merah,
Mardika, dan tempat lainnya. Akhirnya keluarga ini pun tidak bisa pulang ke rumahnya di Desa Wayame.
Esoknya, kerusuhan meluas. Tengah malam Pasar Mardika dibakar. Sang bapak menuntun ibu dan dua anaknya yang masih kecil-kecil menyelamatkan diri
dari kobaran api. Mereka berlindung di sebuah rumah yang tidak jauh dari Pasar Mardika. Pagi harinya mereka menyempatkan diri untuk sholat Dhuha dan berdo’a
agar diselamatkan Allah SWT dari ketakutan ini. Dua jam mereka memanjatkan sholat dan berdo’a, sampai pukul 9.00 pagi. Setelah itu satu keluarga ini keluar
menuju jalan raya. Sang bapak menggendong anak sulungnya di pundak, sedangkan ibunya menggendong si bungsu. Di jalan yang berada di pinggir laut, suasana
sangat kalut dan mencekam. Keluarga ini berlari kecil menuju arah desanya. Si bapak dengan tangan terangkat ke atas memegangi anaknya yang duduk di pundaknya.
Tiba-tiba, saat mereka sedang berlari, ari arah yang berlawanan segerombolan anak muda memanggil-manggil mereka dengan panggilan yang bersahabat. Di tangan
mereka tergenggam parang, tombak, dan persenjataan lainnya. Si bapak yang baik hati ini mendengar panggilan itu dan berbaik sangka, dikiranya anak-anak
muda itu akan menolongnya. Maka berlarilah keluarga ini mendekat ke mereka.
Dengan terengah-engah keluarga ini menghampiri anak-anak muda itu. Sebuah pertanyaan tiba-tiba terdengar dari mereka: “Islam atau Kristen !?”
Dengan refleks si bapak menjawab, “Islam”. Dalam sekejap mata sebuah parang yang panjang dan tajam disabetkan ke pinggang si bapak yang tangannya masih
terangkat memegangi anak sulungnya. Si bapak menjerit dan tersungkur. Anaknya pun jatuh tak jauh dari bapaknya. Berikutnya terjadilah drama seram yang
disaksikan oleh ibu dan kedua anaknya. Si bapak berlutut dan mengiba-iba, tangannya terangkat tinggi-tinggi, “Tolong jangan lukai saya. Saya tidak bersenjata
” Tapi jawaban yang diterima malah sebuah balok kayu yang tepat menghantam kepalanya. Sang bapak jatuh tersungkur. Secepat kilat sebilah parang membelah
kepalanya, diikuti puluhan parang dan tombak yang mencincang tubuhnya. Sungguh pedih penderitaan yang harus dialami keluarga tersebut. Dengan sigap, sang
ibu menggendong kedua anaknya dan berlari menjauhi tempat tersebut dan bersembunyi di sebuah gudang hotel. Ia terpaksa meninggalkan suami tercinta dan
anak kedua anaknya itu. Alhamdulillah, mereka selamat.
Peristiwa mengenaskan terjadi di sebuah SMEA pada hari ketujuh setelah kerusuhan. Siswa dan siswi yang Islam pada waktu itu disuruh bersembunyi
oleh guru-guru mereka yang Kristen, “Hai kamu sekalian bersembunyi saja di satu ruangan. Kalau orang-orang itu tahu akan habisi kalian ini”. Akhirnya para
siswa-siswi itu bersembunyi di satu ruangan kelas. Ternyata ada guru lain, Kristen, yang memberi tahu para penyerang bahwa di sekolah tersebut ada anak-anak
Islam yang tengah bersembunyi. Akhirnya orang-orang Kristen itu mendatangi SMEA tersebut dan membantai semua siswa-siswinya yang beragama Islam.
Dalam melakukan penyerangan, orang-orang Kristen itu bersenjata sangat lengkap. Dari jauh mereka menggunakan panah. Setelah agak dekat menggunakan
tombak. Lebih dekat lagi memakai parang. Sedang kita semua tidak punya itu. Kita tidak memiliki niat untuk melakukan hal yang jelek. Karena mereka menyerang
kita, maka kita membalas dengan bersenjatakan apa saja. Ada yang pergi ke dapur lalu menjumpai pisau, pisau itulah yang dipergunakan. Ada golok kita pakai,
ada bambu kita runcingkan.
Mereka memakai kain merah dan ungu yang diikatkan di kepalanya. Yang berwarna merah bertugas melakukan penyerangan. Sedang yang berikat kepala
ungu malakukan penghancuran. Terlihat jelas adanya koordinasi di antara mereka. Dalam kerusuhan Ambon, orang-orang Cina selamat. Saya melihat, pada saat
terjadinya penyerangan, orang-orang Cina itu mengeluarkan saputangan putih yang di pinggirnya berwarna merah. Itu membuat mereka tidak diserang. Semua
pertokoan Muslim terbakar, sementara toko mereka selamat. Di pasar Mardika, di satu tempat yang merupakan terminal, ada Batu Merah, Galunggung, dan sebagainya
itu, semua punya Cina dan tidak terbakar. Di tempat lain, toko-toko Muslim semuanya terbakar. Sebelum penyerangan mereka melihat peta, yang mana pertokoan
Muslim dan yang mana punya Cina. Mereka tahu tempatnya.
Banyak warga Ambon yang mengungsi. Tanggal 8 Februari 1999, saya dan kelarga meninggalkan Ambon. Arus pengungsi sangat banyak. Di pelabuhan ada
sekitar 16.000 pengungsi yang harus dibawa menuju Buton dan Ujung Pandang. Kapasitas Kapal Siguntang itu hanya 7.000 orang. Karena orang yang harus diangkut
terlalu banyak, kapal itu akhirnya mengangkut 9.000 pengungsi. Lebih dari itu kapal akan tenggelam. Itu dari Ambon saja. Sebelumnya dari Banda, dari Tual,
banyak kapal-kapal sudah membawa ribuan pengungsi. Saya dan keluarga berjalan dari bawah ke atas kapal itu memakan waktu tiga jam ! Padahal jika normal
paling satu menit sudah sampai. Itu disebabkan membludaknya jumlah pengungsi. Barang-barang tidak bisa lagi kita jinjing, itu semua harus dikerek ke atas
kapal.
Kaum Muslimin Buton, Bugis, dan Makasar yang pulang ke daerahnya sesungguhnya hanya untuk mengantar anak dan istrinya saja ke tempat tinggal yang
aman. Setelah itu mereka akan kembali semua ke Ambon bersama sanak famili yang laki-laki. Mereka akan mempertahankan Ambon Ambon sampai tetas darah terakhir.
Mereka sudah bertekad untuk jihad fi sabilillah. Mereka bilang sama saya, “Ustadz, kita ini orang yang sudah banyak dosa. Kapan lagi kita akan menemukan
hal yang seperti ini. Agama kita dihina. Harga diri umat Islam sudah diinjak-injak. Nabi Muhammad sudah dicaci-maki. Kapan lagi saya mau membela jika bukan
sekarang !”
Kaum Muslimin yang belum ke luar Ambon kini tinggal di rumah-rumah orang Islam yang rumahnya tidak terbakar. Yang terbakar, mereka masih mendiami
Taman Hiburan Rakyat Waihao, Masjid Raya Al-Fatah, Wayami, dan sebagainya. Orang-orang Islam rata-rata mendapat luka di tangan. Ada pula yang di kaki.
Rata-rata kena panah. Agaknya panah-panah itu diberi racun, karena banyak yang tetanus setelah kena panah. Ada juga yang kena parang.
Hari Sabtu, hari kelima setelah kerusuhan, para pemuka Islam menghadap Kapolda dan minta izin, “Bila kita seperti ini terus, sampai kapan keadaan
ini akan tuntas. Tolong, izinkan kami untuk berhadapan langsung dengan mereka. Izinkan kami untuk bertempur dengan orang-orang Nasrani itu. Kami hanya
minta waktu empat jam. Jika mereka menang dalam pertempuran selama empat jam itu, kita umat Islam akan keluar dari Ambon. Tapi kalau mereka kalah, mereka
harus keluar dari Ambon, dan Ambon untuk orang Islam”. Itu sudah kami lakukan, tapi aparat tidak mengijinkan.
Kita terpaksa melakukan hal itu sebab aparat sangat tidak adil.Mereka memihak. Yang paling memihak adalah aparat kepolisian dan Brimob yang kebanyakan
Kristen. Aparat yang Islam ‘kan sedang cuti, mudik lebaran. Ketika orang Kristen yang menyerang dibiarkan, tapi giliran kita mau membalas, mereka melepaskan
tembakan. Malah ada orang kita yang ditembak mereka dan meninggal. Itu terjadi di hari kedua.
Mayat-mayat yang mereka bantai tidak bisa kita lihat, sebab banyak yang terjadi di daerah mereka. Di Kudamati, misalnya, pada hari kelima kerusuhan,
ada kejadian sedih yang menimpa orang Waihao. Ada pengusaha ikan, namanya Haji Lasanu. Orang Buton ini disuruh bosnya yang Taiwan untuk mengambil uang
di Mangga Dua, basis Kristen. Dia mengajak anak buahnya empat orang dan seorang anaknya, Musthofa yang baru berumur 17 tahun. Sebenarnya Musthofa ini sedang
tidur, tapi dibangunkan ayahnya. Sang isteri melarangnya mengajak anak itu. Tapi Haji Lasanu tetap bersikeras. Akhirnya berangkatlah mereka berenam ke
Mangga Dua.
Ketika berangkat dan sampai di sana tidak ada kejadian apa-apa. Begitu akan turun, anak dan empat anak buahnya di mobil terdepan, sedang ayah
satu mobil dengan bossnya di belakang. Di tengah perjalanan, sang bos ini lupa membawa handphone-nya, entah disengaja atau tidak, akhirnya satu mobil kembali
ke Mangga Dua. Mobil anaknya terus turun. Di tengah perjalanan, mereka dihadang orang-orang Nasrani, orang di mobil tersebut tidak dapat berbuat apa-apa,
sebab jumlah penghadang jauh lebih banyak. Kelima orang itu langsung dibunuh oleh kafirin. Setelah dibunuh, mayatnya dipotong-potong. Kepalanya dipisahkan
dari lehernya, pangkal tangannya juga dipisahkan dari badannya. Para penyerang itu kemudian menghancurkan mobil, menyiramkan bensin, dan membakarnya. Mayat
yang sudah hancur itu dilemparkan begitu saja ke api yang tengah menyala. Kejadian ini disaksikan banyak orang, berlangsung di tengah jalan raya.
Di rumah, sang ibu sudah cemas sebab sampai sore anaknya tidak juga pulang. Di malam hari terdengar kabar bahwa anaknya itu telah dibunuh dan
dibakar. Dua hari setelah kejadian itu, ada kabar mayatnya akan dibawa ke Waihao. Di Waihao sendiri telah disiapkan kain kafan, dan lima liang kubur telah
digali di sekitar rumah. Kita tidak mungkin menguburkannya di pekuburan Islam sebab terletak di Mangga Dua, daerah Kristen. Pekuburan tersebut sebenarnya
tanah wakaf. Namun sampai saat ini surat-suratnya belum diterbitkan, sebab pejabat-pejabat yang berwenang kebanyakan Kristen. Akhirnya tanah itu diduduki
orang Kristen. Merka buat gereja, buat rumah di atas tanah itu. Dari siang hingga tengah malam, kelima jenazah itu tidak juga didatangkan. Sebenarnya itu
tiak mungkin. Untuk menenangkan keluarga Waihao itu, pihak kepolisian mengatakan pada mereka bahwa kelima korban itu sudah dikuburkan secara Islam. Padahal
itu tidak benar.
Penyerangan orang-orang Nasrani kepada umat Islam di Ambon dan sekitarnya bukanlah tindakan kriminal murni. Mereka melihat itu sebagai bagian
dari perang sucinya. Semestinya umat Islam dari luar Ambon – tanpa diminta oleh kita – wajib datang, merasa terpanggil. Sebab bukankah kita bersaudara
? Rasulullah saw mengatakan bahwa kita ini ibarat satu tubuh. Satu bagian yang dicubit maka sakitlah seluruh badan. Kita sekarang amat sangat butuh bantuan
dari saudara-saudara seiman. Terutama untuk membangkitkan rasa percaya diri dan semangat jihad. Jika umat Islam sudah memiliki kepercayaan diri, kemudian
dibangkitkan “izzatun nafs”-nya, insya Allah, walau tidak ada bantuan dari luar Ambon, kita, umat Islam di Ambon bisa mengatasi mereka. Kalau saja aparat
memberi izin kita untuk bertempur dengan orang-orang kafir itu selama empat jam saja, secara adil, maka insya Allah, kita yakin bisa mengatasi mereka semua.
Namun kita tetap membutuhkan bantuan dari saudara-saudara seiman di luar Ambon.
Berita terakhir dari www.detik.com
Oknum Polisi Berondong Jamaah Sholat
9 Tewas, Habibie Sudah Tahu
Reporter: Sigit Widodo
detikcom – Jakarta, Presiden B. J. Habibie telah mengetahui adanya kasus penembakan jamaah sholat Subuh di Ambon Senin (1/3/1999). Perihal tersebut
diungkapkan menteri agama, Malik Fadjar di Istana Negara Jakarta Senin (1/3/1999) sore setelah diterima oleh Habibie. Malik mengakui bahwa dia sudah mengetahui
insiden tersebut
sejak pagi hari. “Saya mendapat informasi dari kakanwil Depag Maluku, Drs Hasyim Marabessy, SH, sekitar pukul 05:30 WIB melalui telepon,” ujar
Malik. Menurut Malik insiden tersebut jelas-jelas merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Sementara itu menteri peranan wanita yang juga ketua umum Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), Tutty Alawiyah merasa prihatin dan terkejut dengan
peristiwa ini. Tutty berharap pemerintah dan pihak berwajib segera dapat mengusut pelaku penembakan tersebut. “Jika tidak, hal ini dapat menimbulkan keresahan
di masyarakat,” kata Tutty.
Insiden penembakan itu terjadi pagi hari sekitar pukul 05:00 WIT. Saat itu sekitar 100 jamaah baru saja selesai menunaikan ibadah sholat Subuh
di masjid Al-Huda. Masjid ini terletak di daerah Auhura, sekitar 10 kilometer di sebelah Timur pusat kota Ambon.
Saat jamaah akan meninggalkan masjid, tiba-tiba saja beberapa oknum aparat kepolisian, tanpa jelas alasannya, memberondongkan tembakan ke arah
mereka. Tak pelak lagi, korban tewas pun berjatuhan. Gerombolan yang menembak itu, entah polisi-polisian, entah polisi asli.
Berapa jumlah korban yang tewas? Masih simpang siur. Namun sumber detikcom menyebutkan, setidaknya 9 orang tewas. Sedangkan yang luka-luka bisa
mencapai puluhan orang.
Oknum polisi itu rupanya tak hanya menyerang para jamaah yang baru saja menjalani sholat Subuh. Mereka, dengan membabibuta juga menyerang rumah-rumah
penduduk yang ada di sekitar masjid tersebut. Penyerangan yang dipimpin oleh beberapa perwira pertama ini tentu saja menerbitkan rasa takut warga. Rasa
takut itu mencekam hingga ke seluruh warga di Ambon.
Maklum saja, mereka, warga Ambon itu terus didesa oleh bentrokan antar warga secara terus menerus. Apalagi bentrokan itu berkaitan dengan soal
agama. Tak heran jika hingga pukul 20.30 WIT, suasana di seputar kota Ambon terlihat sepi dan mencekam.
Hingga berita ini diturunkan, detikcom belum berhasil mendapatkan konfirmasi dari pihak kepolisian. Baik Polda Maluku maupun Mabes Polri hingga
saat ini belum memberikan keterangan resmi. Namun sumber detikcom di Polda Maluku menyatakan, mereka-mereka yang melakukan penembakan itu sudah diciduk.
Untuk diketahui, kerusuhan yang berlarut-larut di pulau rempah-rempah ini telah menyebabkan eksodus besar-besaran. Pada hari Minggu (28/2/1999)
lebih dari 1.300 orang berjejalan pada kapal-kapal yang meninggalkan Ambon. Kerusuhan yang dimulai semenjak hari lebaran 19 Januari 1998 lalu hingga saat
ini sudah menewaskan 200 orang.
Pos Kota, Jumat, 5 Maret 1999
Peluru dikembalikan, petugas ketakutan
IMAM MESJID 2 KALI DITEMBAK TAK MEMPAN
20.000 Laskar Sabilillah siap ke Ambon
JAKARTA (Pos Kota) – Sebanyak 20.000 anggota Laskar Sabilillah dan anggota Furqon siap dikirim ke Ambon. Sebelum bertolak ke Ambon mereka akan
mengadakan apel akbar di halaman Masjid Istiqlal, Jakarta. Pada kesempatan itu mereka akan melakukan atraksi keterampilan ilmu beladiri dan ilmu kekebalan
tubuh sebagai bekal Jihad.
Sekjen Furqon Drs. H. Nadjamuddin Ramly yang didampingi Bendahara Drs. H. KA. Herry A. Aziz, di ruang kerjanya, di Istiqlal menjelaskan, apel tersebut
akan berlangsung 18 Maret. Pada acara tersebut akan dilakukan uji coba keterampilan mereka yang sudah terlatih.
Tujuan utama apel akbar menurut Nadjamuddin untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan umat Islam, dan merespon segala tantangan ke depan.
Selain itu mayoritas umat Islam secara proporsional bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa. Pemuda yang tergabung dalam Laskar Sabilillah terdiri
dari anggota kelompok Perguruan Pencak Silat Tapak Suci, Pagar Nusa, dan perguruan silat lainnya.
AM Zainal Abidin: Tinggal tunggu komando
AM Zainal Abidin selaku Komandan Laskar menyatakan dirinya siap untuk berangkat. “Kami tinggal tunggu komando saja, dan saya siap dikirim. Kami
tidak main-main,” tegasnya.
Sekretaris Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat Drs. H. Nazri Adlani menyatakan bahwa dirinya secara pribadi sakit mendengar pembantaian umat
Islam di Ambon. “Tapi kami sebagai anggota Pengurus MUI tidak bisa dong langsung bertindak begitu saja. Tugas kami adalah melobi pemerintah ditingkat tinggi,”
paparnya ketika menerima rombongan jama’ah Muslimin (Hizbullah) yang ikut mengutuk pembantaian warga muslim di Ambon.
Menurut Nazri warga muslim di Ambon juga tidak tinggal diam, mereka sudah bereaksi dengan cara mempertahankan diri, membentuk posko-posko (pos
komando) keamanan dan penyelamatan.
Nazri membenarkan peristiwa penembakan warga muslim yang sedang salat di mesjid, di Ambon. bahkan Nazri menambahkan bahwa Imam mesjid di sana bernama
Husein Umar sempat ditembak dua kali oleh oknum aparat keamanan tersebut, akan tetapi tidak tembus, bahkan dua pelurunya dipegang dan dikembalikan kepada
oknum tersebut. Pelaku langsung ketakutan dan kabur.
Pemerintah agar cabut pernyataan
Sementara Imam Masjid Al-Fatah, Ambon, H. Abdul Aziz Arbi, MA, meminta pemerintah untuk mencabut pernyataannya bahwa kerusuhan di Ambon dan sekitarnya
adalah perang melawan kemiskinan dan ulah segelintir kelompok radikal Islam dan Kristen yang kontroversi.
“Kami minta pernyataan pemerintah itu dicabut, pernyataan itu tidak benar,” kata Abdul Aziz, MA dalam jumpa persnya di Masjid Al-Azhar, Jakarta,
kemarin.
Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) juga ikut menyatakan agar pernyataan pemerintah yang tidak benar itu dicabut. Sumargono
dari KISDI mempersoalkan dipopulerkannya istilah ekstrim dan radikal Islam oleh Rezim Habibie yang dulu pernah dipopulerkan oleh Sudomo dan LB. Moerdani.
Karena mempopulerkan istilah itu bukan menyelesaikan masalah, akan tetapi akan menambah persoalan baru.
Subscribe to:
Posts (Atom)